Tim Editor Media |
Kabupaten Alor terkenal sebagai wilayah multi etnis dengan 17 jenis bahasa dan 15 suku besar. Suku – suku tersebut adalah Suku Deing, Alor, Belagar, Abui, Kabola, Kawel, Klon, Kamang,Kramang,Kui, Lamma,Maneta, Mauta, Seboda,werising. Pengembangan wilayah Kecamatan di Kabupaten Alor sebagian besar mengikuti kelompok kesatuan adat yang sudah ada sejak dahulu. Tenun sudah dikenal diwilayah ini sejak ratusan tahun lalu disaat orang mulai beralih dari menggunakan kulit kayu dan kulit binatang sebagai pembungkus badan kebahan hasil tenunan.
Secara umum persebaran Tenun Alor di Kabupaten Alor berasal dari benua Asia menyusuri semenanjung Malaka dan menyisir pulau–pulau di Filipina masuk ke Papua lalu kepulau Leti Timor akhirnya sampai kepulau Alor. Ada yang mengatakan nenek moyang Alor berasal dari Timor Timur, ada yang mengatakan berasal dari semenanjung Malaka, sehingga pulau Pantar disebut juga pulau Malakar (pulau orang dari Malaka), ada pula yang mengatakan leluhurnya berasal dari buaya, dan lain sebagainya. Keanekaragaman tutur sejarah diatas apabila dikaitkan dengan banyaknya suku dan bahasa yang ada diKabupaten Alor dapat dipastikan bahwa para leluhur orang Alor berasal dari asal usul yang berbeda yang datang melalui gelombang migrasi yang berbeda maka tidak heran jika di Alor terdapat banyak ragam motif Tenun yang disesuaikan dengan lingkungan, kemampuan dan ketrampilan.
Seperti daerah–daerah lain di Nusa Tenggara Timur bahwa jauh sebelum masuknya kolonial, Alor sudah dikenal di dunia luar. Laporan pertama tentang Alor pada Januari 1522 ditulis oleh Pigafetta bersama awakarmada Victoria yang sempat berlabuh di pantai Pureman dan Alor Barat Daya dalam perjalanan menuju Eropase telah Magelhaens pemimpin armadaVictoriamati terbunuh diFilipina.
Pigafetta juga menyebut Galiau dalam buku hariannya (Majalah The East Infligt of Trans Nusa, 2007). Perjanjian Lisabon tahun 1851 kepulauan Alor diserahkan kepada Belanda dan pulau Atauru diserahkan kepada Portugis. Bukti peninggalan Portugis diwilayah ini yang masih tersisa berupa jangkar besar yang terdapat di Alor Kecil. Pada masa ini di Alor terdapat 5 Kerajaan yaitu Kerajaan Kolana, Kerajaan Batulolong, Kerajaan Kui, Kerajaan Alor dan Kerajaan Baranusa. Pembagian wilayah kerajaan masa lalu turut berpengaruh pada budaya local termasuk motif tenun yang berkembang di wilayah Kabupaten Alor secara turun temurun.
Diperkirakan penyebaran kain tenun sekaligus pengetahuannya ke kepulauan Alor terjadi setelah terbentuknya kerajaan–kerajaan di Alor.Tenun Alor dan persebarannya di kepulauan Alor menggambarkan suatu nuansa integritas beberapa etnik atau kelompok komunitas yang berkembang dari masa ke masa yang diduga terjadi melalui dua jalur penyebaran dengan periode waktu yang berbeda.Penyebaran pertama diduga pada periode perdagangan barter diwilayah Nusantara dengan jalur dari Arah Barat ke Timur Nusantara yakni melalui Malaka, pulau Sumatera,Jawa,Bali, Lombok,Timor dan berakhir di kepulauan Maluku (Babar, Tanimbar, Keidan Seram). Jalur penyebaran ke dua diduga dari arah Barat namun kemudian ke Utara yaitu melalui Sumatera, Jawa, Sulawesi (Makasar, Toraja, Palu, Manado), Maluku Utara (Ternate-Tidore, Halmahera) ke Seram sampai ke arah Selatan Maluku (Kepulauan Kei, Tanimbar dan Babar).
Penyebaran penduduk kewilayah Timur Nusantara bersamaan dengan keahlian tenun dari masing-masing kelompok migrasi juga memberikan nuansa integritas budayadi Nusantara.Keberadaan Tenun di Kabupaten Alor tentunya memilikikisah perjalanan yang panjang.Hal ini sangat berkaitan dengan apa yang tersirat dalam cerita-cerita rakyat dikepulauan Alor tentang kedatangan dan penyebaran manusia. Sangatlah sulit untuk menyatukan persepsi tentang hikayat yang terdapat pada kelompok-kelompok atau komunitas orang-orang Alor.
Hal tersebut berkaitan dengan penyebaran penduduk secara periodik namun demikian ada sesuatu hal yang sangat penting sebagai petunjuk yang jelas untuk mengungkapkan penyebaran kelompok adalah marga dan kain tenunnya. Di Alor terdapat dua jenis Kain Tenun, yaitu Kain Tenun Songket (Kolana, Batulolong, Kui dan Baranusa) dan Tenun Ikat (Alurung, Umapura dan Pantar) dengan beragam motif.
Pengetahuan tentang tenun songket Alor pada masyarakat di kepulauan Alor sekarang ini dapat dibuktikan dengan adanya kelompok-kelompok penenun yang tersebar di empat etnis tenun songket Alor seperti masyarakat etnis Kolana di Kecamatan Alor Timur terdapat Kelompok pengrajin tenun songket Kolana, masyarakat etnis Batulolong di Kecamatan Alor Selatan terdapat kelompok pengrajin tenun Songket Batulolong,masyarakat etnis Kui di KecamatanAlor Barat Daya terdapat kelompok pengrajin tenun Songket Kui dan masyarakat etnis Pantardi Kecamatan Pantar Barat terdapat kelompok pengrajin tenun songket Baranusa. Kelompok pengrajin tenun tersebut merupakan gabungan keluarga/marga dan ada pula yang dilakukan oleh marga tertentu yang lebih cenderung melakukan aktifitas penenunan berdasar pada motif kain pusaka mereka sendiri. Hal ini sejalan pula dengan pengetahuan tentang tenun Ikat pada masyarakat di kabupaten Alor sekarang ini dapat dibuktikan dengan adanya kelompok - kelompok penenun yang tersebar di etnis tenun seperti masyarakat di Kecamatan Alor Barat Laut terdapat Kelompok pengrajin tenun Ikat Alor Etnis Alurung (Alor Besar dan Umapura), masyarakat di 5 Kecamatan di pulau Pantar terdapat pengrajin tenun Ikat Alor etnis Pantar. Kelompok pengrajin tenun tersebut merupakan gabungan keluarga/marga dan ada pula yang dilakukan oleh marga tertentu yang lebih cenderung melakukan aktifitas penenunan berdasar pada motif kain pusaka mereka sendiri.
Penenunan dilakukan oleh wanita sebagai kerajinan rumah tangga dalam bentuk pintalan-pintalan benang dari kapas dan celup dalam warna alami. Penenunan adalah seni dan kemahiran yang berdasarkan pada kesabaran. Pewarna andi lakukan dengan merendampel bagai daun dan kulit kayu serta kapur. Setelah proses warna selesai, benang dicelup dalam campuran air dengan pewarna yang ada. Semua warna tersebut mudah luntur jika sering dicuci.
Orang Alor umumnya selalu memilih warna hitam pekat.Masuknya benang pabrik yang lebih halus dengan warna yang lebih terang dan lebih banyak perlahan-lahan mendesak penenunan yang menggunakan benang hasil pintalan sendiri. Benang pintalan sendiri menggunakan kapas yang ditanam sendiri.
Perang Dunia II menyebabkan arus masuk benang pabrik terhambat,sehingga penenunan dengan menggunakan hasil pintalan sendiri kembali menguat. Teknik yang digunakan dari pengolahan kapas hingga penenunan pada saat itu adalah sama dengan yang digunakan sampai saat ini. Sebagian penenun ada yang menggunakan benang pabrik untuk lungsin dan mengunakan benang kapas hasil pintalan sendiri untuk pakan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan kain yang lebih kuat,daripada hanya menggunakan benang pabrik saja.
Penenun Alor sudah mulai belajar menenun sejak masih kecil dari belajar kepada ibunya saat menenun. Selanjutnya sangayah akan membuatkannya peralatan tenun dan mulai menenun dengan menggunakan benang-benang sisa tenunan dari sang ibu.Sang penenun muda selanjutnya sudah dapat membantu ibunya dalam proses penenunan dan untuk memperlancar kemampuan tenunnya, termasuk membuat berbagai motif tenun yang diinginkan. (Admin)
0 komentar: